Pages

Showing posts with label Alkisah. Show all posts
Showing posts with label Alkisah. Show all posts

Cerita Istri: Tenyata Suamiku....

Cerita Istri: Tenyata Suamiku.... - Aku ingat hari pertama pernikahan kami. Aku dengan lingerie hijau toska meringkuk di ranjang pengantin sedemikian rupa sehingga terlihat menggoda. Bulu-bulu halus di tubuhku sudah aku babat habis supaya tidak lagi menjadi penghalang antara kulitku dan kulit suamiku. Sepuluh menit..dua puluh menit..tiga puluh menit..suamiku tak kunjung keluar dari kamar mandi. Akhirnya pada malam pertama yang sakral itu aku malah tertidur pulas dengan posisi yang jauh dari kesan menggoda.

Aku juga ingat pada minggu pertama pernikahan kami. Kami tidak berbulan madu seperti layaknya pasangan suami istri yang baru menikah. Sehari setelah menikah, suamiku berangkat ke kantor seperti biasa. Alasannya, urusan kantor sedang sibuk-sibuknya dan tidak bisa ditinggal. Sedangkan aku sudah resmi menjadi 100% Ibu Rumah Tangga.

Meninggalkan karirku adalah sesuatu yang berat bagiku, tapi permintaan suamiku sebelum kami menikah terpaksa aku iyakan. Saat itu anganku dibawanya tinggi. Empat orang anak, sebuah rumah besar dengan halaman luas, mobil, dan uang belanja yang jauh lebih besar dari gajiku. Alasanku untuk terus berkarir seperti menguap begitu saja.

Setiap hari aku menjalankan peranku sebagai istri dengan sempurna. Bangun lebih awal dari suamiku, menyiapkan sarapan dan keperluannya ke kantor. Selalu menjaga kerapihan rumah karena suamiku akan marah-marah kalau melihat rumah kami berantakan. Menyiapkan makan malam sebelum suamiku pulang dari kantor. Hal terakhir yang tidak boleh terlupakan, untuk tampil rapih dan wangi saat menyambut suamiku pulang. Wajahnya akan berubah ketus kalau melihatku dengan daster dan wajah berminyak dan mencium bau keringatku. Dalam minggu pertama, aku sudah hapal dengan ritualku sehari-hari.

Suamiku seringnya pulang jam sembilan malam. Setelah makan malam, biasanya suamiku akan berselonjor di sofa di depan TV. Sedangkan aku menunggu dengan cemas apakah malam ini akan berlalu seperti malam-malam sebelumnya. Jam sebelas..jam dua belas..aku sudah mulai mengantuk. Aku menunggunya di kamar tidur kami, mencoba tetap terjaga.

Tapi selalu gagal, sehingga saat aku terbangun aku sadar aku sudah melewatkan lagi kesempatan ‘malam pertama’ kami yang sudah tertunda selama hampir seminggu. Pada malam keenam, aku berhasil melawan rasa kantuk sampai akhirnya suamiku masuk ke kamar kami. Jam satu malam. Aku ingat suamiku berusaha menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui bahwa aku belum tertidur. Aku sudah berancang-ancang dengan posisi menggoda andalanku. Tapi tanpa menoleh sedikit pun suamiku beranjak ke kamar kerjanya, “Ada tugas kantor yang harus diselesaikan”. Gagal lagi.

 

Masih juga bisa kuingat bulan pertama pernikahan kami. Aku semakin mengenal watak suamiku. Dia tidak suka perhatianku yang melimpah. Dia seperti tidak ikhlas saat menerima kecupan mesraku mengantar kepergiannya ke kantor. Kalau aku bertanya jam berapa dia akan pulang, jawabannya hanya senyum ketus. Sejak kejadian malam keenam, suamiku pulang lebih larut malam dan tidak menentu.

Kadang-kadang jam sepuluh malam, sering juga sampai tengah malam. Dia juga lebih suka menghabiskan akhir pekan di luar rumah. Beberapa kali dia mengajakku berlibur ke tempat-tempat wisata, menginap di hotel-hotel mewah, makan di restoran-restoran mahal, namun selalu diakhiri dengan malam di ranjang yang dingin. Tidak jarang dia membanjiriku dengan pujian di depan teman-temanku, teman-temannya, dan kerabat famili kami. Tidak sedikit hadiah-hadiah kejutan yang dia belikan untukku. Namun tidak satu pun dari semua itu yang kemudian membawa kami pada malam yang indah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pada bulan keenam pernikahan kami, aku dan suamiku bertengkar mulut untuk pertama kalinya. Mungkin wanita lain akan lebih cepat bereaksi ketimbang aku yang terlalu berhati-hati menjaga perasaan suami. Aku timbang-timbang, inilah timing yang tepat untuk mengutarakan isi hatiku. Enam bulan sudah sangat cukup untuk membuktikan aku istri yang penyabar dan pengertian. Malam itu, persis setengah tahun pernikahan kami.

Aku berusaha bicara seringan mungkin saat kami sedang makan malam. Bahwa tidak terasa sudah enam bulan kami hidup bersama. Bahwa begitu cepat hari berganti hari, bulan berganti bulan. Suamiku hanya mengangguk-angguk sambil terus menikmati makanannya. Tak lagi peduli dengan harga diriku, sekonyong-konyong aku melontarkan pertanyaan yang selama ini mengendap di benakku, “ Apa Mas tidak tertarik untuk berhubungan seks denganku?”.

Seketika itu juga suamiku yang tadinya tidak mengacuhkan arah pembicaraanku, menghujamkan tatapannya yang merendahkan ke wajahku. Tak lagi berselera dengan santapan malam itu, sama sekali tidak berusaha untuk menjawab pertanyaanku, suamiku bangkit berdiri dan seperti tidak jelas dengan apa yang mau dilakukannya. Aku sudah terlanjur mengangkat masalah ini ke permukaan, maka aku bertekad tidak akan membiarkan ketidakjelasan ini terus berlanjut. Kuikuti suamiku yang berusaha menghindar menuju ke kamar kerjanya.

“Apa Mas tidak pernah berpikir bahwa suatu saat aku akan menanyakan hal ini?”
“Apa Mas hanya menganggap aku sebagai Pembantu Rumah Tangga saja, yang hanya berfungsi untuk mengurus rumah, keperluan Mas sehari-hari, tapi tidak lebih dari itu?”
“Apa Mas menikahiku hanya untuk mendapatkan status saja, sebagai seorang suami?”
Tamparan tajam mendarat di pipi kananku. Aku jatuh terduduk, bukan karena kerasnya pukulan barusan, tapi karena energi yang sebelumnya begitu besar tiba-tiba habis tersedot oleh amarahku sendiri. Melihatku sudah tak berdaya, suamiku mengeluarkan serangan balik.
“Lantas kamu maunya apa, hah?”
“Kamu pikir aku gak mampu melayanimu di ranjang, hah?”
“Apa diotakmu yang namanya pernikahan hanya sebatas seks saja, hah?”
Aku hanya bisa terisak-isak tetap duduk di lantai tempat aku terjatuh. Entah setan apa yang merasuki suamiku, saat itu dia menarik aku berdiri. Menyeretku ke kamar tidur kami. Mendorongku jatuh ke ranjang.

“Buka bajumu! Atau perlu aku yang membukakan?!”, gertakan suamiku keras dan mengerikan. Dalam satu gerakan dia sudah menelanjangi dirinya sendiri. Sedangkan aku hanya bisa terpaku, tidak menentu apa yang harus kulakukan. Haruskah aku membuka bajuku dan melayani suamiku seperti yang aku inginkan selama ini? Tamparan tadi, gertakan suamiku, dan kemarahanku menahan keinginanku untuk menjalan tugasku sebagai seorang istri yang patuh dan berbakti. “Aku tidak mau melakukannya dengan terpaksa seperti ini”. Malam itu kami tidur di kamar yang berbeda.

Seminggu setelah kejadian itu, amarah kami mulai mereda. Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku tetap menjalankan tugasku mengurus keperluan rumah tangga walaupun dalam diam. Tidak ada sapaan hangat atau kecupan mesra saat suamiku berangkat maupun pulang kerja. Aku menjalani semua itu dengan ketidakyakinan akan masa depan kami. Apakah akan datang saatnya dimana rumah ini tidak hanya dihuni oleh kami berdua? Sampai kapan kami bisa bertahan sebagai suami istri seperti ini? Apakah kami bahagia?

Tepatnya dua minggu setelah pertengkaran kami, suamiku masuk ke kamar tidur lebih awal. Aku baru saja bersiap-siap tidur. Suamiku tidak mematikan lampu kamar seperti biasanya, malahan menyetel lagu lembut dari DVD player di kamar kami. Aku terus mengikuti gerak-geriknya, sampai tiba-tiba ciuman mesra mendarat di pipiku. Diteruskan ke bibirku, ke leherku. Aku ingat aku kaku seperti mayat saat itu, hanya mengikuti kehendak suamiku. ‘Malam pertama’ kami akhirnya terlaksana dengan penuh tanda tanya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak malam itu, aku seperti gadis perawan yang sedang jatuh cinta. Aku tersipu-sipu jika bertatapan mata dengan suamiku. Aku semakin perhatian terhadap suamiku, yang ditanggapi acuh tak acuh seperti biasa. Aku gelisah jika suamiku pulang terlambat, dan sama gelisahnya ketika suamiku pulang lebih awal. Aku rela menunggu sambil terkantuk-kantuk di tempat tidur, walaupun seringkali kecewa saat suamiku memilih untuk langsung tidur.

Aku tidak pernah mengharapkan hubungan seks yang liar. Aku perempuan Asia dari keluarga kolot yang selalu diajarkan untuk bersikap pasif di depan suami. Suamiku dengan wataknya yang dingin selalu menjalankan ritual keintiman kami dengan fase-fase yang monoton. Foreplay secukupnya, membiarkan aku mencapai orgasme lebih dulu, kemudian menyudahinya tanpa pernah membiarkan dirinya terpuaskan. Awalnya aku pikir wajar saja.


Tapi setelah berlangsung bulan demi bulan, aku mulai bertanya-tanya kembali. Apakah ini sekedar upaya suamiku agar aku tidak lagi protes? Lalu untuk apa semua ini? Untuk apa menjalani rumah tangga seperti ini? Tidakkah suamiku menginginkan buah hati seperti yang pernah dikatakannya dulu saat melamarku?
Lalu pada malam tahun pertama pernikahan kami, malam yang seharusnya membahagiakan bagi pasangan muda, kami bertengkar untuk yang kedua kalinya.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sejak pertengkaran hebat malam itu, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah kami. Malam itu juga aku pergi meninggalkan suamiku. Meninggalkan adat yang mengharuskan istri patuh kepada suami. Meninggalkan harapan-harapanku terkubur di rumah itu. Bagiku sudah tidak jelas lagi gambaran seorang istri yang berbakti.

Sejak saat itu pula, aku tinggal di rumah peninggalan orangtuaku yang sudah lama kosong. Sejak ibuku meninggal lima tahun yang lalu, aku meninggalkan rumah ini kosong dengan meminta bantuan seorang kerabat untuk menengoknya sesekali. Sedangkan aku tinggal di rumah pamanku bersama istrinya dan anak-anak mereka di kota lain dimana aku melanjutkan pendidikanku sampai mendapat gelar sarjana. Di kota ini pula aku berkenalan dengan suamiku, seorang teman dari temanku.

Tampan, berpendidikan baik, berkedudukan tinggi di kantornya, dan berasal dari keluarga yang terhormat. Usianya 35 tahun saat berkenalan denganku, sedangkan aku baru 25 tahun. Hanya dalam waktu dua bulan, dia sudah mulai menyatakan keseriusannya denganku. Keluarga pamanku sangat mendukung hubunganku dengannya yang terlihat begitu santun di depan mereka.

Sedangkan keluarga suamiku tidak segan-segan langsung meminta persetujuan pamanku sebagai waliku untuk menikahiku dengan anak kesayangan mereka. Saat itu aku tidak menyempatkan diriku bertanya ke dalam hatiku sendiri, apakah aku mau menikahinya karena mencintainya, ataukah hanya karena kelebihan-kelebihannya? Semua berjalan begitu cepat, sampai-sampai aku pun terlupa menanyakan satu pertanyaan yang paling penting, “Apakah dia mencintaiku?”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku masih ingat minggu pertama sejak aku meninggalkan rumah suamiku. Aku hanya tinggal sendirian. Tidak ada yang tahu aku tinggal di sini, bahkan keluarga pamanku. Kepada kerabat yang biasanya datang membersihkan rumah ini kukatakan aku sedang berlibur beberapa minggu. Aku benar-benar mengucilkan diriku sendiri.

Tidak keluar rumah sama sekali. Makan seadanya. Tidak mandi, tidak juga mengganti pakaianku. Kerjaanku hanya meringkuk di tempat tidur, kemudian tertidur beberapa jam, terbangun, kemudian tertidur lagi. Entah apa yang ada dipikiranku. Kadang-kadang aku berpikir tentang betapa bencinya aku pada suamiku, terkadang merasa kasihan terhadapnya. Tapi pernahkah ia merasa kasihan terhadapku?

Aku juga masih bisa ingat minggu-minggu berikutnya dari kehidupan nerakaku. Pikiranku semakin tidak karuan. Aku semakin tidak mengenal waktu. Kapan Senin, kapan Minggu. Kapan pagi, kapan siang. Pernahkah suamiku berusaha menghubungiku? Mencariku ke rumah ini? Patutkah aku meneleponnya? Dimana handphone-ku? Ruang sudah tak jelas juga bagiku.
Apakah suamiku masih peduli denganku? Apakah dia pernah mencintaiku? Apakah aku pernah mencintainya? Kenapa aku merindukannya tapi juga membencinya? Aku menangis, tapi anehnya aku juga tertawa-tawa. Apa yang salah denganku?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Entah sudah minggu keberapa sejak malam itu, saat aku menyaksikan kejadian yang membawaku ke dalam penderitaan ini. Malam itu, malam tahun pertama pernikahan kami. Aku bermaksud membuat kejutan untuk suamiku di kantornya. Berbekal kue tart buatanku, dengan dandanan sedikit istimewa, aku nekat datang ke kantornya yang mungkin justru akan membuat suamiku jengkel. Aku lihat sekretarisnya, seorang pemuda yang tampan dan seumuran denganku, sedang tidak di mejanya. Mungkin dia sedang di dalam ruangan suamiku untuk mendiskusikan sesuatu. Apakah sebaiknya aku menunggu? Ah, biar saja. Aku kan bermaksud memberikan kejutan.

Tapi kejutan itu ternyata bukan untuk suamiku, melainkan untukku. Di ruangan itu, di hari istimewa itu, aku melihat suamiku dan sekretarisnya yang tampan itu sedang hanyut dalam ciuman yang begitu panas. Apakah aku bermimpi? Suamiku sedang menikmati percintaannya dengan kekasih gelapnya selama ini.

Bukankah ini cuma sekedar cerita murahan di novel-novel yang suka aku baca? Tapi kenapa hal ini bisa terjadi padaku? Suamiku seorang gay. Suamiku lebih mencintai lelaki itu daripada istrinya sendiri, aku. Aku..aku..sudah tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. Apakah itu hanya mimpiku saja? Aku berharap itu hanya mimpi saja.

Tapi bukankah aku seharusnya di rumah suamiku saat ini menjalankan tugasku sebagai seorang istri. Tapi kenapa aku di ruangan sempit dan serba putih ini dengan tangan terikat membalut tubuhku?

[ sumber ]

Kisah Seorang Tukang Sapu, Belajar Hidup Dari Daun Dan Uang Rp 35 Ribu

Kisah Seorang Tukang Sapu, Belajar Hidup Dari Daun Dan Uang Rp 35 Ribu - Sore kemarin cuaca di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan nampak terlihat mendung dan akan segera turun hujan. Dengan bergegas, seorang wanita paruh baya berpakaian orange segera menuntaskan pekerjaannya membersihkan sampah daun dengan menggunakan sapu lidi dan pengki untuk dimasukkan ke dalam karung.


Sedikit terburu-buru, ia menuntaskan pekerjaannya karena tetes air petanda hujan perlahan mulai jatuh tepat di atas kepalanya. Bergegas ia pun menenteng karung, pengki dan sapu kemudian berlindung menuju sebuah halte dari rintikan hujan yang deras secara tiba-tiba.

Sadiyah (48) nama wanita itu, dia adalah pekerja kontrak Dinas Kebersihan Jakarta Selatan yang memang ditugasi untuk membersihkan sampah sekaligus menyapu jalan di seputar Jalan Raya Ragunan, mulai dari perempatan Jati Padang hingga Balai pertanian dekat Polsek Pasar Minggu.

Terik matahari dan guyuran hujan tidak membuat Sadiyah (48) patah arang untuk mengais rezeki menghidupi anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama dan membantu memutar roda perekenomian keluarga.

"Saya sudah dua tahun bekerja jadi tukang sapu, awalnya di rumah tapi saya berniat membantu suami saya," kata Sadiyah saat ditemui di halte depan SMA Negeri 28, Jakarta Selatan, Sabtu (23/3).

Pengalaman hidup begitu berarti untuk ibu dari 5 anak itu. Sadiyah menuturkan, pekerjaan yang ia lakoni memang baru sekitar 2 tahun ia jalani. Dahulu, Sadiyah hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Namun, berkat bantuan sang suami Mazar (53) yang juga bekerja sebagai tukang sapu, Sadiyah kemudian melamar pekerjaan sebagai tukang sapu untuk membantu perekonomian keluarga serta membiayai anaknya yang masih sekolah.

Kebetulan saat itu, perusahaan tenaga kerja tempat ia bernaung saat ini membutuhkan tukang sapu untuk membersihkan sepanjang Jalan Raya Ragunan yang bersedia bekerja sejak pukul 13.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB membersihkan sampah daun atau sampah non organik yang berserakan di pinggir jalan atau sengaja dibuang orang yang tidak bertanggung jawab.

"Awalnya saya di rumah, saya coba melamar berkat bantuan suami saya kerja hingga saat ini. Waktu itu memang perusahaan butuh pegawai yang bisa masuk siang," ujarnya.

Daun, sampah plastik, kuman dan kotor merupakan sahabat Sadiyah setiap hari. Sadiyah mengatakan, bahwa ia bersyukur menjalani pekerjaan seperti saat ini. Meski pendapatannya boleh dibilang kecil dibanding dengan tenaga yang ia keluarkan, namun Sadiyah tetap iklas menjalani prosesi hidup sebagai tukang sapu.

Sebulan jika Sadiyah masuk setiap hari, gaji yang ia terima sebesar Rp 1.050.000 perhari gaji Sadiyah dibayar Rp 35 ribu tanpa uang makan atau uang lembur. Jika tidak masuk, uang tersebut akan dipotong dengan jumlah hari absen dirinya tidak bekerja. Meski begitu, ada saja orang yang dengan ikhlas memberikan bantuan kepadanya saat ia sedang menyapu jalanan.

"Ya alhamdulilah ada aja, untuk suka duka paling kalau lagi nyapu ada orang titip sampah," ucapnya.

Meski hidup begitu keras, namun Sadiyah coba menjalani dengan sabar dan ikhlas. Dia mengatakan, meski harus menyapu sampah dedaunan pohon yang ada dipinggir jalan, menurutnya itu adalah rezeki. Tuhan menjatuhkan daun ke jalan dan disapu untuk mendapatkan sekadar rupiah penyambung hidup.

Sore menjelang, Sadiyah dengan sesegera mungkin menuntaskan pekerjaannya. Tak lupa, kawan setia sapu lidi dan pengki yang terbuat dari kaleng biskuit serta karung ia titipkan di Taman dekat dia bekerja sehari-hari. Taman tersebut merupakan kantor alam untuk Sadiyah beristirahat maupun mengisi tenaganya dengan butiran nasi.

"Kalau dibilang kurang, manusia pasti akan kurang terus, ya kita cukup-cukupi," ujarnya.

Usai bekerja, Sadiyah tidak lupa untuk beristirahat untuk pagi esok mengurusi keluarga menggantikan suaminya Mazar yang bekerja pagi hari. Menjelang siang hari sekitar pukul 12.30 WIB, Sadiyah kembali bergulat dengan sampah. [war]

[ sumber ]

Kisah Mengharukan Di Balik Foto Seorang Anak Menggendong Ibunya



Beberapa waktu yang lalu, sebuah foto yang menyentuh hati tersebar di internet. Foto itu menggambarkan seorang pria yang menggendong wanita lanjut usia dengan kain gendongan, seperti seorang ibu yang menggendong anaknya. Foto itu begitu mencuri perhatian dan banyak orang yang bertanya, siapa dia? Siapa yang digendongnya? Apa yang sedang mereka lakukan?

Foto tersebut rupanya adalah foto seorang pria yang sudah berusia 62 tahun dan bernama Ding Zhu Ji. Ia sedang berada di salah satu rumah sakit di China untuk mengantarkan ibunya. Sang ibu yang sudah berusia sangat tua, ringkih dan mengalami patah tulang, akhirnya digendong oleh Ding Zhu Ji ke rumah sakit. Ia melakukannya karena berpikir bahwa menggendong ibunya ke rumah sakit akan lebih cepat sampai dan dirinya tidak akan merasa terlalu lelah walau menggendong ke sana.

Pria ini sama sekali tak menduga bahwa apa yang ia lakukan akan mencuri perhatian banyak orang. Pemandangan yang begitu menyentuh ini kemudian diabadikan oleh seseorang dalam bentuk foto yang kini beredar luas di internet. Selain itu, CCTV rumah sakit juga sempat merekam momen di mana pria ini menggendong ibunya yang nampak seperti bayi.

Sang ibu saat ini sudah berusia 85 tahun, namun Ding Zhu Ji mengisahkan bahwa ia sangat berhutang budi pada ibunya. Saat masih mengandung Ding Zhu Ji usia 6 bulan, keduanya nyaris dilempar ke laut karena sang ibu tidak sengaja menghilangkan kartu identitas naik perahu bersama prajurit Taiwan. Banyak orang yang memohon agar ibu Ding Zhu Ji yang sedang mengandung itu tidak dilempar ke laut, hingga detik-detik menegangkan itu berubah melegakan karena ada orang yang menemukan kartu identitas mereka.

Ding Zhu Ji yang mendengar kisah itu dari ibunya menjadi semakin sayang pada wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya tersebut. Meski merupakan anak sulung, dirinyalah yang paling dekat dengan sang ibu. Bahkan hingga setua ini pun, ia masih merawat sang ibu. Ding Zhu Ji juga merasa bersalah karena tak menjaga ibunya dengan baik sehingga mengalami patah kaki kiri. Ding Zhu Ji pernah sangat ingin membawa ibunya yang sudah menua dan mulai pikun untuk pulang dan menemui saudara di Tiongkok. Sayangnya sebelum itu sempat terjadi, sang ibu sudah kehilangan ingatannya dan hal itu membuatnya sangat menyesal.
Ladies, Anda pasti pernah sejenak mengingat masa kecil Anda, kemudian membandingkannya dengan masa sekarang di mana Anda sudah dewasa dan bisa memilih serta memutuskan apa yang Anda inginkan. Masa kecil Anda dengan orang tua yang menimang dan menyayangi, sesekali memarahi dan membuat kita menangis atau kesal. Namun semua itu pada dasarnya adalah wujud kasih sayang orang tua yang ingin selalu bisa melindungi anaknya.

Lantas, sudah berbuat apakah kita pada orang tua? Bayangkan bila kita tua nanti. Kita bukan lagi sosok yang kuat dan bergairah seperti sekarang. Kita sudah menjadi sosok yang rapuh dan perlahan tapi pasti, usia akan memundurkan semua kemampuan kita. Kita akan kembali seperti bayi yang butuh pertolongan anak-anak kita.

Ding Zhu Ji adalah sebuah inspirasi nyata mengenai anak yang berbakti pada ibunya. Bagaimanapun orang tua kita sudah menua dan pikun, dahulunya mereka adalah orang yang selalu menuntun kita berjalan, mengajari kita bicara, tempat berlindung dan mencurahkan air mata, tempat bermanja yang tulus dan menyayangi kita. Berbaktilah pada orang tua. Lakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membahagiakan mereka selagi kita masih bersama mereka.

Tunjukkan kehadiran Anda yang tersenyum tulus padanya. Maka tak ada yang lebih membahagiakan kedua orang tua Anda selain anak-anaknya yang masih mengingat dan menyayangi mereka.

[ sumber ]

Nyata!! Mayat Hidup Lagi Setelah Kuburannya Digali

Nyata!! Mayat Hidup Lagi Setelah Kuburannya Digali - kisah nyata seorang mayat yang sudah di kubur ternyata hidup lagi setalah kuburanya digali lagi oleh warga. Tidak ada mayat yang bisa hidup lagi setelah kematian namun sebuah kisah nyata dari Kalimantan Selatan ini akan membuat merasa kaget dan tidak percaya sebab mayat yang sudah dikubur ternyata hidup lagi setelah kuburannya di gali oleh warga.

Kisah nyata ini terjadi pada seorang pria yang bernama Yadi, warga Kelurahan Kelayan Selatan, Banjarmasin Selatan, Kalimantan Selatan. Yadi meninggal akibat tengelam di rumah sakit Yadipun sempat dibawa kerumah sakit namun pihak dokter mengatakan jika Yadi sudah tewas lalu keluarga pun melakukan upacara pemakan untuk Yadi.

Setelah pemakaman dimalam harinya istri Yadi mendapatkan mimpi yang memberitahukan Jika Yadi belum mati dan mimpi itu diberitahukan ke keluarga Yadi yang lain dan pihak keluarga sepakat untuk mempercayai mimpi itu dan mengali lagi makan Yadi.

Setelah di gali mayat yadi yang masih berbungkuskan kain kafan dibawa kerumah sakit lagi namun pihak rumah sakit tetap menyatakan jika Yadi sudah mati kemudian keluarga membawanya kembali kerumah untuk dimakamkan kembali.

Namun setelah sampai dirumah Mayat yadi tadi menunjukan tanda tanda jika ia masih hidup tubuh Mayat Yadi terasa pansa dan masih bernapas salah seorang pemuka agama yang melihat kejadian ini kemudian menyatakan jika Yadi masih bernyawa walaupun kondisinya tidak sadarkan diri. Warga yang mengetahui cerita Yadi hidup lagi pun kemudian berdatangan untuk melihat kondisi yadi. Maha besar Allah yang memiliki segalanya yang memberikan kehidupan lagi kepada yang sudah mati.

Penasaran? Yuk, kita lihat videonya di bawah sini :



[ sumber ]